Alunan musik klasik bersenandung selaras dengan nuansa warna langit yang kelabu tanpa bertabur satupun cahaya bintang atau purnama sekaligus bersamaan dengan angin yang berhembus tak kencang tapi juga tak diam. Lidah ini kelu, pikiran ini samar, dari tempat ini selalu timbul pertanyaan di benak tentang bagaimana bisa beberapa gram teh memberi banyak kontribusi bagi kelangsungan hidup berbagai jiwa atau sekadar inspirasi diri sendiri.
“Silahkan mas” ujar pelayan berbaju hijau itu ramah, sembari menyodorkan buku menu dan catatan kecil serta pulpen.
“Terimakasih” timpalku singkat. Lalu aku memilih menu seperti biasa. Hot milktea dan roti bakar coklat. Segera aku kembalikan buku menu dan catatan itu pada pelayan yang sejak tadi ada di sebelehku.
“Di tunggu 20 menit ya mas, permisi” katanya lagi sembari melongos pergi.
Musik klasik itu terus berputar hingga orang- orang hilir mudik bergantian datang dan pergi meninggalkan tempat ini. Seperti hakikat hidup, ada yang dengan atau tanpa sengaja datang pergi atau sekadar lewat di halaman hidup kisah kita. Seperti selayaknya duka yang hilir berganti dengan suka. Ya seperti itulah. Imaji ini bak di terbangkan angin berhembus dengan pesat. Hingga tanpa sadar ada seseorang yang menepuk pundakku. Ia seorang pelayan sama berbaju hijau namun dengan potongan rambut dan raut wajah yang berbeda. Ia terlihat lebih ramah dan hmm walau tak cantik tapi enak dipandang.
“Maaf mas, jika ada pelanggan yang duduk disini apa mas keberatan? Seat-nya habis mas” katanya ramah sekali sambil tersenyum dan sedikit merajuk
“Dengan senang hati” ujarku singkat. Lalu ia undur diri dan segera memanggil pelanggan yang ia maksud.
Aku tak menggubrisnya terlalu serius. Lalu, seorang kakek umur 60-an menghampiriku. “Terimakasih mengizinkan saya duduk satu meja dengan mu anak muda. Perkenalkan nama saya Trikasjono” katanya lugas sembari mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya dengan erat. Terlihat rautnya ia sosok seorang bijaksana. Lalu aku membalas perkataannya “dengan senang hati pak. Saya Ari” jawabku.
Pesanan hot milktea dan roti bakar coklatku datang. Aku meminta izin pada bapak itu untuk makan lebih dulu, bapak itu mengangguk. Tiba- tiba saja dia memulai percakapan.
“Nak, sebagai generasi muda kamu pernah berfikir tidak bagaimana beberapa gram teh bisa memberi kontribusi bagi jalannya suatu pemikiran atau sekadar inspirasi bagi bangsa ini? Dilihat dari pengunjung disini saja, orang- orang menikmati hidangan teh sembari mengerjakan tugasnya. Baik tugas personal atau intrapersonal. Bayangkan, dengan aroma dan rasanya teh mampu meningkatkan hormon dan penyegar pikiran hingga bisa berfungsi dengan baik. Sama layaknya seperti kopi atau kedai- kedai lain di nusantara ini. Berarti kamu tau nak, sajian makanan di tempat- tempat sejenis ini bisa jadi sangat berpengaruh” katanya panjang lebar. Aku tersedak kaget, karena apa yang terpikirkan olehku menjadi pemikirannya juga. Batinku riuh, jarang- jarang pula aku bertemu orang seperti ini.
Aku tersenyum, lalu menengguk, “benar pak, itu yang sedang saya pikirkan. Berarti dengan kata lain alam telah memberikan segalanya bagi nusantara ini bukan pak?” tanya ku lembut. Dia menengguk takzim. Lalu matanya memandangi orang- orang yang masih tetap hilir mudik, bahkan antrian kedai ini sudah hampir mencapai teras luar.
“lalu, bagaimana bisa mereka lupa siapa dan tempat mana yang harus mereka jaga dan pedulikan? Selain tuhan tentunya. Bahkan tempat itu mereka eksploitasi dan dengan bangganya mereka jual hasil eksploitasi tersebut. Macam apa pula mereka tak sadar dari mana pemasok energi mereka itu berasal. Alam nak alam. Bumi ini, tanah ini. Tanahnya, airnya, belum lagi sumber daya lainnya. Tapi kenapa mereka sampai lupa ada sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan agar segalanya tetap seimbang” ia gelisah, sedikit amarahnya mencuat naik. Seakan tak peduli perkataannya sedikit berteriak.
“iya pak, saya mengerti. Bagaimana alam ini bertransformasi hingga akhir- akhir ini ia lebih sering murka. Dan tak ada yang bisa kita limpahkan selain diri kita sendiri. Khalifah di bumi ini, yang sudah sepetutnya bertanggung jawab” ujarku sambil terus menikmati hidangan yang telah datang sejak tadi.
Pelayan berbaju hijau yang enak dipandang itu datang lagi, ia membawa pesanan pak tua itu. Tersenyum ramah, dan tersenyum. Senyum yang mengalahkan manisnya milktea yang sedang ku minum, luar biasa mahluk tuhan ini ujarku membatin.
Pak tua atau kakek dihadapanku ini menyeruput tehnya. Ditempat ini, tak hanya menyidiakan milktea tapi juga ada teh serta susu beragam racikan.
“yah seperti itulah anak muda, jiwa ini selalu bingung jika alam sedang murka. Tapi sekaligus malu menyeringai di wajah tua ini. Malu pada alam karena tak bisa berbalas budi atas jasanya yang besar” ia berbicara dengan bijaknya, namun lugas sekali terdengar.
Aku menangguk, sembari tersenyum sekaligus membereskan barang bawaanku. Baru saja atasan memberitahu bahwa aku harus segera ke kantor karena ada urusan mendadak. Lalu aku berpamitan pada pak tua yang bijaksana itu setelah membayar bill pada pelayan berbaju hijau yang enak dipandang. Pikiranku kembali melesat padanya, hey gadis terimakasih sudah melayaniku ujar batinku riang.
Lalu aku melangkah ke pintu keluar, malam ini langit tetap kelabu tanpa bintang atau purnama. Dan beberapa air dari awan tumpah, gerimis yang tak pernah diundang itu akhirnya datang. Tanpa peduli beberapa wilayah sedang dilanda bencana akibat amuk besar sang hujan. Lalu langkah ini segera melaju menuju tempat yang dituju sebelum hujan benar- benar datang. Benar kata pak tua, diri ini malu pada alam yang telah memberi segalanya tanpa kita bisa menjaganya. Pantas sajalah ia murka. Secangir milktea telah menyentuh bahkan meremas perasaanku, tentang bagaimana hubungan timbal balik yang tak pernah adil di bumi ini, ialah manusia dengan alamnya. Ah nista benar kami ini selaku khlaifah di bumi ini.
Yogyakarta, 13 April 2014
LOMBA CERPEN MAPACH 2014